Rumah yang kutempati dengan dua kamar tidur dan
menyisakan tak lebih dari dua meter ruang tengah dengan meja makan keluargaku seadanya. Sekitar tiga meter kebelakang adalah sisa bangunan lama rumah tua orang tua yang
rencananya akan kami gunakan untuk dapur jika kami sudah memiliki tabungan yang
cukup untuk itu. Entah kapan..
Memasuki rumah dengan lelah letih oleh aktivitas seharian lantaran hari
itu adalah kewajibanku untuk menyelesaikan tutup buku laporan bulanan di sebuah
perusahaan swasta yang berjarak tak lebih dari tiga kilometer dari tempat
tinggalku.
Salam sapaku mengiringi langkahku menginjakkan petak demi petak lantai ruang
tamu menuju dua bidadari yang setia menunggu kedatanganku di rumah ini. Gadis kecil ceria
selalu menjadi yang pertama menyambutku dengan peluk cium di pipi kening dan
leher. Itu serasa menjadi ritual wajib setiap hari kami sekeluarga.
Dengan sedikit celah waktu lantaran aku harus segera melanjutkan dengan
rapat kecil untuk sekedar koordinasi kegiatan dengan teman-teman organisasi,
masih sempat kuraih keyboard komputer tua di ruang tamu untuk berhitung sebentar keluar
masuk kas perusahaan.
“ Ma, tolong siapin uangnya ya…” sedikit komunikasiku kepada Sang Istri
sembari kukernyitkan dahi bahwa ternyata bulan ini harus minus. Alhamdulillah…
roda ekonomi memang lagi seret. Di kantor omset anjlok, disinipun aku harus
merelakan semua uang receh ini hanya untuk karyawan. Ah sudahlah.. aku harus
bergegas, teman-teman pasti sudah menungguku, pikirku membayangkan teman-teman yang
sudah aku anggap sebagai saudaraku, semuanya.
Tepat jam 23.15 aku kembali memasuki rumah
kecilku, dan ternyata putri kecilku masih menungguku. Dengan celotehnya dia
menyambutku kembali masuk ruang kamar.
“Jare dilut, Pa? “ sebuah tanya yang tidak seharusnya aku jawab dengan
jujur, karena sudah pasti dia belum mengerti. Hanya kutunjukkan senyum, kuraih
tubuhnya, sebentar kupeluk dan kucium pipi serta keningnya yang sudah agak
kecut oleh keringat. Harum bagiku… dan aku sangat menikmatinya.
" Pa..
pipis.." celana anakku pun mlorot oleh tangan-tangan mungilnya
" Pipis
sendiri, Nggeh.. Pinter " diapun bergegas menata sandal untuk ke kamar mandi, melewati
dapur kumuh tempat istriku
memasak, si kecil menuju ke kamar mandi. Selang beberapa detik aku
mengikuti di belakangnya, dengan langkah hati-hati oleh beberapa koleksi rongsokanku yang sedikit berserakan
di dapur. Hm, beberapa kali istriku merapikan toh kembaili berserakan oleh tarian tikus
maupun kadang juga angin dan hujan. Yeah.. beginilah, aku
belum bisa membangun yang lebih baik untuk keluarga dan anak istriku. Kompor
masakpun pun harus ditutup spanduk bekas oleh istriku agar bila turun hujan
maupun terpaan angin, debu tak sampai nyemplung di minyak jelantah, bumbu-bumbu
masak, maupun toples kecil berisikan gula dan kopi. Ah kasihan sekali istriku... tapi walau begitu dia selalu mengerti, menghormatiku, dan tahu batasanku.
" Aku cawik
dewe, Pa.." terdengar suara
merdu dari dalam kamar mandi, bergegas aku menghampirinya, si kecil sudah jongkok dan ngewesss
dengan suara yang khas. Di sampingnnya aku lihat air sudah
disiapkan olehnya walau hanya setengah gayung. Setelah itu diapun berdiri meraih gayung itu dengan susah payah lantaran memang ditaruh dibibir dinding bak mandi yang
tingginya seukuran badannya. Tangan mungil itu mengarahkan air kearah
yang dia maksud. Aku tersenyum melihatnya sedikit kesulitan, kadang aku sengaja membuat dia merasa kesulitan agar merengek padaku.
Setelah dirasa
cukup dia minta untuk diambilkan
pasta dan sikat gigi yang memang diluar jangkauannya.
Dengan belepotan dan beberapa gesture
lucunya diapun bermaksud mengakhiri ritualnya di kamar
mandi itu.
"Sini Nduk, disiram lagi
nggeh sama Papa.. " sembari aku raih gayung yang sama menyiramkan air dari batas pinggangnya hingga
dia menunjukkan gesture kedinginan.
" Selesei
pipis disiram semua, nggeh.. biar suci... mboten wonten najis" sambungku
dengan nada ala guru TK.
" Lha ancene
aku gak iso lek ambil air banyak, Pa. Ngkok lek bajuku basah kabeh yok
po?" begitulah tanyanya walau sebenernya kaos yang dia kenakan sudah basah
setelah dia melakukan ritual gosok gigi tadi.
"Mboten
nopo-nopo, nanti lama-lama kan bisa.. lek kemu (kumur) nggeh mbungkruk biar
ndak basah kabeh baju e.." kucoba memberi dia input walau dia punya sedikit bakat ngeyelan.
Beberapa saat kemudian dilanjut dengan celotehnya di atas dipan reot tempat kami bertiga istirahat malam. Dia
menceritakan dengan celoteh khasnya
tentang beberapa memori yang dia tangkap hari ini. Sekilas cerita tentang
guru TK nya, maem
sendiri, hingga tadi dirumah sendiri tanpa teman lantaran papa kerja sedang mama pergi membantu belanja beberapa kebutuhan
logistik sebuah perusahaan. Itulah celoteh putri kecilku hingga berakhir dengan rebutan "jejer papa" antara dengan mamanya sebelum dia tertidur pulas.. hehe
Dua judul film sampai tuntas mengantarku hingga larut malam, tapi mataku masih belum mau terpejam. Dua tema dan alur cerita yang berbeda. Satu kisah tentang keperkasaan putra
ketujuh dalam membinasakan penguasa negeri penuh sihir, dibalut dengan bumbu-bumbu cinta Sang Aktor bersama seorang gadis dari
kalangan para penyihir. Akhirnya keduanya bertemu dalam kemenangan.
Cerita berbeda dari judul yang berbeda pula, mengisahkan seorang pialang saham
sukses yang mendandani PSK jalanan
dengan tingkah yang norak serta kampungan, menjadi sosok
wanita elegan, penuh pesona dengan uang yang berakhir dg cinta diantara mereka. Indah.. lagi-lagi ada sekenario cinta dari Sang Sutradara menghiasi kedua alur cerita
disana.
Hmmm….
Dalam sepi aku tertegun, panjang …. menguak memori
aktivitas hari ini dan lalu..
Pekerjaan, keluarga, orang tua, teman, anjlok, rugi, dalang, wayang,
drama, sekenario, rejeki, ibadah, Tuhan….. campur aduk meta keyword berputar
dalam server otakku, hingga desahan nafas putri kecilku yang pulas membawa kembali dalam beberapa menit tersisa menyaksikan putri kecilku
yang menunggu kedatanganku dirumah karena ingin meminta beberapa
menit tersebut untuk menyampaikan cuap-cuapnya sebelum
tidur. Dalam samar aku tersenyum berada diantara dua
amanah Tuhan disampingku ini.
Malam
kian sunyi, menyisakan
sepertiga
perjalanan menjelang terbitnya Dewa Matahari. Siulan ayam jantan pun mulai sesekali mengusik heningnya malam. Detak
jam dinding makin jelas terdengar seolah mengalunkan dzikir yang tiada henti. Dalam temaram cahaya dari
ruang sebelah, tubuh ringkihku masih tergeletak diantara dua bidadari yang telah pulas dalam mimpi indahnya.
Dalam sunyi … pandanganku mengelilingi seluruh permukaan dinding kamar, menyapu
langit-langit tanpa secenti pun terlewat hingga terfokus pada beberapa lembar
genteng kaca diantara lubang asbes yang memang sengaja didesain seperti itu.
Ya.. aku bias melihat secercah cahaya langit dari sana..
Pandanganku jauh menerawang, nanar tanpa suara tanpa obyek menembus batas dimensi
ruang dan waktu. Kehebatan teknologi Ilahi yang tertanam
di otak ini sungguh dasyat tak tertandingi walau oleh S.H.I.E.L.D. and Stark
Technology.
Melayang terbang menembus
batas atmosfir bumi tiada warna hanya terang dan gelap bergantian menembus mata
batinku.
Rongga pikiranku meraung-raung…
Alam malam merasukiku dengan berbagai bisikan ghoib..
Khayalan, ingatan, cita-cita, nafsu, ambisi berbaur menjadi satu
perpaduan energy yang gak karu-karuan. Berbagai sisi dan
angle pikiranku dipenuhi atom tanda tanya.
Kembali hadir kilas balik waktu yang telah lalu, hadir pula dimensi ruang
yang entah tak tahu aku sedang ada dimana.
Bisikan lembut menyapa dan mengingatkanku bahwa dalam hitungan hari kedepan akan tiba syurga bernama Ramadhan.. Bahagiakah aku? Atau
tersiksakah aku? Entahlah .. Kemunafikan selalu mencoba hadir dalam setiap
jawabanku
Bisikan lain mengingatkan bahwa sebentar lagi adzan subuh, aku harus
segera bangun,
Bisikan lain menanyakan kapan aku membuatkan istriku tempat yang layak
untuk menuangkan segelas kopi menyambutku pulang dari aktivitas kerja.
Raungan semakin menggelegar ketika sembrani besar membawa ingatanku kepada
dosa-dosaku yang telah lalu. Apakah Tuhan akan memaafkan aku? Terasa tiada
tempat yang layak bagiku disyurga Nya. Penglihatan neraka menganga seolah
menantiku di ujung sana….
Nanar mataku membelah cakrawala malam yang kian sunyi hingga aku sampai
pada tempat dimana aku sendiri tak tahu kini, aku hanya dapat merasakan
pandanganku kian kabur oleh air atau darah yang mengucur dari balik kelopak
mataku. Entahlah… Saat itu hanya satu nama yang kuingat dan dan kusebut “Allah………..”.
Nikmat kembali mengelusku, syahdu…
Disaat buaian alam
syahdu mengelusku.. ada tawa dalam rongga dadaku membentak telinga kananku
“ Halah…
ojo etok-etok melas… paling mene awakmu yowes lali maneh…. !!!”
Aku tersentak…. Kembali aku rasakan sesak dan pilu, … Tiba-tiba tapi ada tangan lembut menepuk
pundak kiriku, dia mencoba menenangkan aku dengan bisikan lembutnya “Teruslah
berdzikir, Sobat.. sebutla nama Tuhanmu, maka kamu akan selamat…” aku pun
mencoba kembali menggerakkan bibirku yang mulai kaku “ …………Allaaah……”
bisikan lembut itu datang lagi seolah menuntunku “ Terus lah sebut nama
Tuhanmu… kamu akan menemukan kedamaian di dekat-Nya…..” . Kesekian kali aku
terus mencoba berdzikir dan menemukan sedikit nikmat disana.
Entah kasih sayang apa yang membawa bisikan lembut itu datang lagi dengan
tepukan lembut di pundak kiriku “ Terus, Kawan… teruslah sebut nama Tuhanmu..
maka kamu akan menjadi makhluk-Nya yang termulia, paling taat….. dan terbaik
dari semua manusia disekitarmu. Lihatlah manusia-manusia lain disekelilingmu..
mereka sangat rendah dibanding kemuliaanmu,
mereka penuh dosa tanpa mau bertaubat seperti dirimu. Lihatlah dirimu… aku
bangga padamu, teruslah kumandangkan kebaikan, maka kamu akan sangat dihormati
dan terhormat dari kalangan mereka. Tangan bahkan kakimu akan dicium oleh
mereka karena kamulah yang paling suci diantara mereka. Mereka akan memujamu, mereka akan menghormatimu, generasi mereka akan dengan bangga memajang fotomu sebagai orang suci. Kamu akan terkenal, Kawan.. Sobat…Temanku… ”.
Bisikannya makin keras kemudian melemah, dan menghilang hingga aku sedikit lupa apa yang harus
aku ucapkan dan tak tau lagi apa tujuan.
Dari sisi kananku tangan kasar menjewer daun telingaku diirinigi tawa kasar tapi terdengar ikhlas " Hahaha.....Rasaknooo.. tiada tempat lagi untukmu ! Kembalilah ! Kembalilah sebelum kamu terbakar! Kembalilah pada maqom kalian masing-masing. Jika kamu belum mampu ber uzlah maka diamlah! Dan lihatlah! Hentikan nyanyianmu yang justru akan memporakporandakan tulang belulang dan sendi imanmu! Syariat, toriqot, ma'rifat, hakekat hingga maqomat itu adalah hak Tuhan!
Kembalilah jalankan peranmu, kamu mampu menggoncang ars? Lakukan! Menggoyang benua? Lakukanlah! Atau kamu hanya mampu berbisik sana sini? Lakukanlah...! Apa kamu pikir Tuhan akan rugi dengan semua tingkahmu? Hah?! "
Ada apa ini????
Entah… Entahlaah…. Entaaaaaaahhhhhhhhh !!!!!!!!! Aku bingung ditengah
gelapnya pandanganku.
Tiba-tiba kedua telingaku mendengar suara menggelegar disertai aroma khas
yang serasa tak asing bagiku.. dan aku terjaga… aku tersadar bahwa tubuh
ringkihku masih disisi anak dan istriku.. Kugapai tangan mungil putri kecilku.
Aku ingat dan sadar bahwa suara dan aroma itu adalah kentut indah dari putri kecilku. Aku mulai tersenyum.
Kuraih dan kupeluk perlahan tubuhnya yang masih pulas dalam tidurnya. Saat
bersamaan kembali suara itu kembali hadir dimukaku. Aku makin menikmati
aromanya, makin kueratkan pelukanku. Perlahan kukecup keningnya. Sejenak aku termenung, dan kembali senyumku memngembang dengan penuh kesadaran. Terima kasih
Nduk…
Sebusuk apapun dan sekucel apapun bau an rupamu saat ini kamu adalah
putri ku, aku akan sangat mencintai dan menyayangimu sebagai amanah Allah SWT.
Ayah teringat senakal apapun aku pada kakek nenekmu tapi beliau masih membela
dan menyayangiku. Apapun yang kuminta mereka selalu berusaha walau kudu meres gajih e watu. Ah, mengapa aku tak bisa memberikan apapun pada Beliau-beliau. ... Naifnya diriku…. Ya Allah….
Seberapa besar hamba-Mu ini mengaku cinta pada-Mu tapi semua itu tak
melebihi cinta-Mu pada makhluk-Mu. Dosa dan kesalahan yang kami perbuat,
ternyata Kamu masih memberikan nikmat-Mu…. rejeki-Mu kepada kami. Sedangkan
kami sedikit kesulitan sudah mengatakan Kau tak adil, padahal Kamu akan
memberikan cinta-Mu yang lebih besar kepada kami, seperti kala aku membuat putriku menangis
ketika aku paksa dia belajar sembahyang dan sujud kepada-Mu.
Terima kasih putri kecilku…
Kentutmu menyadarkan aku akan arti kasih sayang orang tua dan Tuhan
kepada kita.
Astaghfiru-Ka Ya Allah.
Ijinkan aku menikmati ramadhan-Mu.
Amiiin
#zz